It’s My Life


Mengapa Orang Suka Menggelapkan Pajak?
Maret 22, 2008, 5:39 pm
Filed under: Bahasa

“Mengapa orang suka menggelapkan pajak?” tanya Martin Moetadhim S.M. ketika kami menikmati makan siang. Pertanyaan itu akan mudah saja dibalas, kalau saja ia tak menambahkan, jawabnya harus pakai analisa bahasa.

Karena tak jua disahut, Martin membocorkannya. “Pajak dalam bahasa Inggris disebut tax. Tax dalam bahasa Persia Kuno berarti gelap. Itu sebabnya, orang suka menggelapkan pajak,” katanya tertawa. “Satu lagi, mengapa pemilik nama Shakira sudah pasti perempuan?” imbuhnya sembari mengingatkan nama seorang penyanyi. “Karena shakira dalam bahasa Kroasia berarti alat kelamin perempuan,” jawab mantan wartawan itu.

Betul apa yang dikatakan Widihartono dari FBMM Jawa Tengah. Katanya, akan sangat baik jika wartawan memiliki kosakata yang beragam. Hal itu pula yang ditegaskan Rikard Bagun, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas dalam sambutan Konvensi Nasional Forum Bahasa Media Massa yang digelar pada 3-4 April di Wisma Kompas-Gramedia, Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat.“Antara media dan pembaca, yang ada bahasa. Kalau bahasa tidak dimengerti, apa jadinya? Dalam media cetak, isi adalah raja, bahasa ialah ratu, dan visual menjadi istananya,” katanya.  

Rikard mencermati, perkembangan bahasa di media massa makin jauh dari apa yang diharapkan. “Ada kecenderungan teman-teman junior merekam apa saja yang disebut nara sumber seperti istilah relief well. Kalau wartawan ikut-ikutan, kelihatan tidak ada pembela bahasa dan kehormatan media massa,” tandas Rikard. Ia berharap, FBMM menghasilkan rekomendasi yang konkret untuk media massa baik dari segi pelafalan, penulisan dll. “Contoh, kata teror baru dikeluarkan pada 1758 di Perancis,” ungkapnya.

Abdul Gaffar Ruskhan dari Pusat Bahasa pun menandaskan pentingnya forum sebagai sarana belajar bahasa. “Ada guru bertanya, bahasa media massa kerap tidak sesuai dengan pembelajaran di sekolah, seperti kurang santun, dsb. Pusat Bahasa dan FBMM dapat saling berangkulan,” katanya.

“Ribut” Soal Bahasa

Ikut dalam konvensi ini, mengingatkan pada situasi kerja di Koran Tokoh. Wartawan bacaaan wanita dan keluarga ini dipaksa lebih teliti menggunakan bahasa. Jika tidak, rapat redaksi tiap Senin pagi menjadi ajang menahan malu karena salah menulis kata. Kondisi itu juga terjadi di arena konvensi. Empat puluh satu peserta yang merupakan perwakilan dari FBMM Jakarta, Maluku, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Pusat Bahasa dan Balai Bahasa berbagai daerah “ribut” mengupas bahasa Indonesia.

Jika peserta dari berbagai media massa mempersoalkan “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI) yang dianggap tidak konsisten, sebaliknya, perwakilan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa menanggapi terbitnya “Tesaurus Bahasa Indonesia” (TBI) yang digarap Eko Endarmoko.

Galih dari Kompas (Jakarta) dan Tendy Soemantri dari Pikiran Rakyat (Bandung) menggugat Pusat Bahasa terkait kata perhati, memerhatikan. “Mana yang benar, memperhatikan atau memerhatikan?” tanya Tendy yang juga menjadi Ketua III Bidang Organisasi dan Daerah FBMM Pusat 2004-2006.

Menurut Abdul Gaffar, dalam KBBI, memerhati, perhati muncul sebagai lema pokok. Dirunut dari kamus yang lama, ada dua variasi. Perhati muncul dari kata hati. Perhati bentukan sekunder dari kata hati. Ada bentuk ketiganya, memperhatikan. Ada kamus yang memuat memerhati sebagai lema pokok. P luluh jadi memerhati. “Prinsip penyusunan KBBI adalah konsisten. Ke depan, akan diputuskan mana yang dipilih dan dipastikan tetap,” jawabnya diplomatis.

C. Ruddyanto dari Balai Bahasa Denpasar mengaku rindu adanya tesaurus. “Tapi tesaurus yang ada sekarang perlu perbaikan. Dalam TBI, padam hanya untuk gunung berapi, tewas tidak masuk dalam padanan mati. Abang sinonim, mas, kakang, uda, tapi tidak bersinonim dengan kakak. TBI juga tidak konsisten,” serangnya. Eko lantas menjawab, “Kata kakak itu hiponim, makanya tak dimasukkan. Bukankah ada kata mbak yang juga bisa bermakna kakak? Contoh lain, pegawai juga tak serta-merta sinonim dengan kata karyawan karena ada kata karyawati,” paparnya.

Penjelasan Abdul Gaffar soal “menggagahi” mengelitikku. Kata ‘menggagahi’ berasal dari kata gagah berarti memperkosa. “Karena gagah, ia bisa melakukan ‘sesuatu’,” selorohnya. Kontan, jawaban ini memaksa saya bertanya, “Dalam jurnalisme berperspektif gender kata ‘menggagahi’ bermaksa bias gender. Pemakaiannya disarankan wajib dihindari, tapi KBBI mencatatnya.” Eko Bambang Subiyantoro 22/4 tahun lalu menegaskan hal itu dalam Pelatihan Singkat “Jurnalisme Berperspektif Gender” yang digelar Koran Tokoh.

Abdul Gaffar tak berkomentar banyak. “Tergantung pada pemakai bahasa yang memaknai dan berpulang pada wartawan yang menggunakan. Kamus akan merekam dan mencatat,” katanya singkat.

Fatimah Djajasudarma dari Fakultas Sastra Universitas Padjajaran memberi tips kearifan dalam mewacanakan informasi di media yaitu kata/frasa dengan makna lugas yang mengacu kepada orang, objek, otoritas atau peristiwa yang secara referensial dan kontekstual sesuai dengan fakta; kata/frasa degan makna lugas yang mempresentasikan ilokusi memberitahukan/menginformasikan; kata/frasa degan makna normatif menunjukkan kepantasan berbahasa, sesuai dengan tuntutan normatif topik/konteks wacana.

Ia juga menekankan, teks wacana yang tidak dimaksudkan untuk mempresentasikan tindak komunikasi yang melanggar prinsip kesantunan; teks wacana yang tidak memanfaatkan kosakata yang belum berterima sebagai kepantasan yang telah lazim digunakan dalam komunikasi; teks wacana yang tidak mencampuradukkan konteks informasi ke dalam wacana formal; teks wacana yang tidak menghilangkan sapaan penghormatan. “Kata-kata yang digunakan pers mudah menyebar dalam masyarakat,” ingatnya.


Tinggalkan sebuah Komentar so far
Tinggalkan komentar



Tinggalkan komentar