It’s My Life


Orang yang Membawa Handphone Dibunuh
Maret 22, 2008, 6:00 pm
Filed under: Bahasa

“Yang membawa handphone harap dimatikan,” begitu pesan yang biasanya dikatakan pewara sebuah kegiatan. Terasa ada aneh? Mungkin tidak. “Tetapi, kalau dilaksanakan, bisa berbahaya,” ujar Drs. Mustakim, M. Hum., Kepala Bagian Pembinaan Bahasa Indonesia dan Sastra Pusat Bahasa.

“Bisa-bisa orang yang membawa handphone dibunuh,” lanjutnya disusul tawa seluruh peserta seminar tentang Pengutamaan Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Lambang Jati Diri Bangsa di Pusat Bahasa, Jakarta. Sama halnya dengan kalimat “belok kiri boleh langsung” dan “saat kutbah dilarang berbicara”. “Pengemudi saat belok kiri boleh seenaknya, pilih langsung belok atau diam saja. Begitu juga, saat kutbah dilarang berbicara. Kalau dilarang berbicara, siapa yang akan kutbah?” papar Mustakim.

Meski keliru, orang yang mendengar atau membaca tak menyadarinya. Kesalahkaprahan berbahasa Indonesia merupakan salah satu permasalahan kebahasaan di Tanah Air. Dewasa ini juga sebagian orang Indonesia berada dalam krisis bahasa. “Agar terkesan hebat, mewah, dan modern, nama gedung diberi nama berbahasa Inggris. Bangunan yang sifatnya tradisional dan tidak bergengsi seperti pasar, perumahan tipe kecil, memakai nama berbahasa Indonesia,” keluhnya. Padahal, jika gedung atau kompleks perumahan yang bernama dalam bahasa Inggris itu disebut dalam bahasa Indonesia, dijamin tak akan kehilangan pamornya. Contoh, perumahan Pondok Indah yang menjadi kawasan elit di Jakarta.

Selain itu, kini di sekolah-sekolah ada kecenderungan tidak berbahasa Indonesia. Di sekolah internasional wajar memakai bahasa Inggris. Tetapi, di sekolah nasional berstandar internasional seharusnya mutu dan kurikulum yang berstandar internasional tapi penyampaiannya tetap berbahasa Indonesia. “Kalau dibiarkan terus-menerus, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa rendahan. Akhirnya identitas bangsa hilang. Mau?” tanyanya retoris.

Mustakim mencontohkan, di negara lain, bahasa negaranya dipakai lebih dulu baru disusul bahasa Inggris. Seperti papan petunjuk di bandara atau salam saat tamu tiba di sebuah negara. “Bahasa Indonesia harus menjadi bahasa tuan rumahnya. Globalisasi boleh datang tapi bahasa Indonesia harus tetap menjadi lambang jati diri bangsa. Bahasa asing ditempatkan sesuai proporsinya,” imbuhnya.

Remy Sylado penulis buku “Bahasa Menunjukkan Bangsa” punya kisah menarik. Ia pernah diminta oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama untuk menjadi juri dalam lomba guru-guru taman kanak-kanak bercerita. Materi ceritanya adalah buku-buku cerita anak dari kelas sastra, baik sastra dunia yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang tertib, maupun folklor yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang semestinya.

Tidak sedikit dari guru-guru itu yang membawa murid-muridnya untuk meramaikan panggung. Ketika memperkenalkan TK-nya, sang guru menyebut nama sekolahnya lalu murid-muridnya menyahut, “Yes!” Lalu sang guru bertanya tentang sekolahnya dan murid-muridnya menjawab, “We are number one!” Sang guru pun berkata, “Ok deh.”

Semua guru yang bercerita dengan gaya nginggris tidak dimenangkan. Sebab, sebelumnya panitia sudah mengumumkan kepada peserta untuk tampil bercerita dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Dengan contoh ini, tahulah kita bahwa gejala nginggris sudah merasuk di tingkat pendidikan yang paling bawah,” ujarnya.

Kurangnya komitmen terhadap bahasa Indonesia tampak pada prestasi belajar siswa. Jenny Tumepa, guru SMA Negeri 5 Manado mengungkapkan, selama ini nilai ujian siswa untuk mata pelajaran bahasa Inggris bisa mencapai nilai 10. Tetapi, nilai sempurna itu tidak pernah diraih untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. “Alasan siswa kami, kalau bekerja yang diperlukan keterampilan berbahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia,” ujar Jenny.

“Pemelajaran bahasa Indonesia tidak steril, justru harus melibatkan mata pelajaran lain,” ujar Bagiono Jokosumbogo, Staf Senior Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jendral Departemen Pendidikan Nasional. Unsur pembentuk kompentensi berbahasa adalah matematika, logika, teknologi, dan bahasa. “Keempatnya bukan hanya ditunjukkan oleh wujud praktis dalam tindakan berbahasa tetapi juga dalam cara berpikir,” susulnya.

Pengalamannya di Prancis, seorang insiyur dianggap intelektual karena itu mata kuliah bahasa dan kebudayaan prancis wajib dipelajari hingga semester terakhir di universitas. ”Waktu saya ujian akhir untuk mendapat ijazah insinyur ESIM (Ecole Supérieure d’Ingénieur de Marseille) tahun 1965, pertanyaannya hanya satu, kemerdekaan seseorang berakhir, ketika kemerdekaan orang lain mulai. Uraikan dan terangkan jawabanmu, waktu tiga jam,” kenangnya. 

Jati diri bangsa

Prof. Amrin Saragih, Ph.D., M.A., Kepala Balai Bahasa Medan mengatakan, tata bahasa merupakan teori pengalaman, yakni teori tentang memerikan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman dalam bahasa oleh pemakai atau masyarakat pemakai bahasa. Tata bahasa Indonesia berbeda dengan tata bahasa Inggris. “Dengan demikian, tata bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa Indonesia yang jelas berbeda dengan jati diri bangsa lain,” tegasnya.

Bahasa terbentuk dalam masyarakat sejalan dengan perkembangan di dalam masyarakat itu. Sebagai semiotik sosial, bahasa atau teks tergantung pada konteks sosial. Selanjutnya, konteks menentukan teks.

Semiotik yang terbentuk dalam konteks sosial adalah semiotik konotatif. Semiotik denotatif memiliki ‘arti’ dan ekspresi. Semiotik konotatif dalam konteks sosial memiliki ‘arti’ tetapi tidak memiliki ekspresi. Satu unit bahasa atau teks dapat memiliki lebih dari satu arti bergantung pada konteks sosial yakni situasi (medan, pelibat, dan cara), budaya dan ideologi. Sebaliknya, satu arti dapat dikodekan oleh lebih dari satu teks atau unit bahasa. Misalnya klausa besok kita melakukan operasi dapat bermakna ‘operasi pasien’, ‘penyerbuan musuh’, ‘pengecekan harga’, atau ‘tindak kejahatan’. Demikian juga bunyi sst dapat berarti ‘mengusir hewan’, ‘menyuruh diam’, atau ‘menarik perhatian’.

Satu teks membawa makna konteks budaya. Contoh, masyarakat Indonesia umumnya tidak ingin berhadapan langsung dalam menyatakan sesuatu kepada mitrabicara. Sering terjadi satu maksud disindirkan kepada orang lain dengan maksud mengenai orang tertentu secara tidak langsung. Dalam teks mauya dia datanglah sekarang atau teringatnya ke mana dia pergi. “Maunya siapa lagi kalau bukan mauku? Makna -nya adalah ‘aku’: mauku dia datanglah sekarang,” kata Amrin. Klitik -nya dalam bahasa Indonesia dapat berarti ‘engkau’, ‘kita’, ‘dia’, atau ‘mereka’ seperti dalam teks siapa namanya, kita kembali ke asalnya, kedatangannya tepat, mengangkat mereka yang namanya dalam lampiran menjadi…

Seorang teman pernah datang ke rumah Amrin. Awalnya dia bercerita tentang Revolusi Prancis yang menciptakan kebebasan individu. Lalu disambung cerita tentang Revolusi Amerika Latin sampai penemuan benih padi di Filipina. “Saya ikuti terus sambil menebak jalan pikirannya. Mau dibawa ke mana cerita ini,” kisah Amrin. Ternyata, sampai pada cerita tentang penemuan benih padi, temannya berkata, “Begitulah Pak Amrin panen belum jua datang. Tetapi, surat dari anakku di Yogya sudah tiba. Dia minta uang. Karena itu, saya pinjam uang dulu pada Pak Amrin.”

Ada hal lain yang berbeda antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Bagi orang Indonesia nama merupakan sesuatu yang sakral karena nama saja sudah dianggap manusia. Bagi orang Inggris, nama adalah benda dan bagi mereka, sebagai benda nama dapat dibuat sesuka hati dengan ‘apalah sebuah nama’.

Anak kecil dapat saja memanggil nama seorang kakek. Itu sebabnya dalam bahasa Indonesia kita katakan siapa namamu? bukan apa namamu? sementara dalam bahasa Inggris dikatakan what is your name? Beberapa suku di Indonesia, Batak misalnya, tidak pernah mau menyebut nama bapak atau ibunya. Anak-anak dapat berkelahi karena temannya menyebut nama bapak atau ibunya. Bagi suku Melayu, rasa enggan menyebut nama pacar terealisasi dalam teks kirim salam saya kepada si dia.

Demikian juga dalam ideologi bangsa Indonesia, hewan tidak pernah setaraf dengan manusia sementara penutur Inggris menyamakannya dengan manusia. Di dalam bahasa Inggris dikatakan my uncle has two cats, they are fed on fish and milk sementara teks bahasa Indonesia berbunyi pamanku punya dua kucing; kedua kucing itu diberi makan ikan dan susu. “Bangsa Indonesia belum dapat memerekakan kucing kecuali dalam sastra,” ujar Amrin.Seorang laki-laki dapat menyatakan will you marry me dalam bahasa Inggris tetapi tidak dalam bahasa Indonesia. Hal yang sama dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia adalah dalam kedua bahasa itu belum dapat dikatakan John is Mary’s widower atau si Johan duda si Maria.

Teks atau bahasa merupakan reralisasi ideologi, budaya, dan situasi pemakai atau penutur bahasa. Jelas, bahasa Indonesia adalah realisasi ideologi, budaya dan situasi bahasa Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain yang menjadi identitas bangsa. Jika bahasa Indonesia lenyap atau musnah, maka musnahlah identitas Indonesia.


8 Komentar so far
Tinggalkan komentar

Pelajaran bahasa Indonesia ternyata tetap relevan bagi anak TK, murid SD, siswa SLTP dan siswa SLTA, serta mahasiswa. Namun, pelajaran bahasa Indonesia sering dianggap mubazir saat seseorang memasuki masa sekolah. Bahkan beberapa perguruan tinggi menghilangkan pelajaran (matakuliah) bahasa Indonesia, atau sekolah tertentu meniadakan pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pendapat Mustakim, Remy Silado, Amrin Saragih bukan hanya sangat bermanfaat untuk disimak dengan sebaik-baiknya, melainkan juga tulisan Erhanana patut menjadi dokumentasi kebahasaan yang penting.

Komentar oleh johnherf

ternyata penggunaan tulisan Bahasa Indonesia di universitas banyak juga salahnya, plg ngga dari revisi tugas akhir yg ada, dari tulisan blog para dosen, tulisan saya apalagi.. 🙂

akhirnya ketemu mb ratna di blog..
salam (alumni gema siswa) 😀

Komentar oleh dani

berarti bahaya sekali ya, kalo yang bawa hp… hehehe…

Komentar oleh dipoetraz

Sebagai salah satu “murid” Pak Amrin Saragih, Saya merasa sangat bangga atas penjelasan beliau tentang uniknya kajian tata bahasa.

Maaf, saya mungkin terlalu berlebihan, tapi izinkanlah saya mengungkapkan rasa kagum saya terhadap Pak Amrin, seorang profesor yang sangat low profile, ramah, dan disiplin. Terima kasih atas bimbingannya pak, saya mohon restu bapak mengingat bulan depan saya akan melanjutkan studi S2 saya. Dan kepada penulis, saya menghaturkan banyak terima kasih atas penyajian topik yang sangat menarik ini.

Salam,

Bima Pranachitra, S.S.

Komentar oleh Bima Pranachitra, S.S.

Saat ini saya sedang mencari email Pak Amrin Saragih (supervisor saya di UNIMED).
Kalau ada yang tahu mohon berkenan meberitahukannya lewat japri.

Salam,
Susanto
Email: susantonanda@gmail.com
http://www.mrsusanto.blogspot.com

Komentar oleh Susanto

Sebuah artikel yang penuh pengetahuan. Pecinta bahasa hendaknya membaca artikel ini. Saatnya kita angkat harkat bahasa kita. Salam.

Komentar oleh Muhammad Subhan

Pengguna bahasa yang baik akan mencerminkan bahasa yang baik pula. Baiknya sebuah bahasa tergantung pada sikap penutur bahasa itu sendiri mau diapakan bahasa itu. Bahasa sebagai alat komunikasi sebaiknya dipakai sesuai dengan kaidah yang benar. Bahasa yang kadang diucapkan degan benar bisa saja diartikan keliru oleh orang lain, apalagi bahasa itu sampai disalahgunakan. Marilah kita berbahasa dengan baik dan benar.

Salam,
Hadi Sahputra – UNIMED LTBI

Komentar oleh Hadi Sahputra

Hal itu tidak dapat disangkal,jika bahasa Indonesia musnah, maka musnahlah identitas atau jati diri Indonesia.
Jadi, kita generasi penerus harus membudayakan Bahasa Indonesia.

Komentar oleh normauli




Tinggalkan Balasan ke Susanto Batalkan balasan